Minggu, 30 Oktober 2016

KONSEP DIRI Dan GAYA HIDUP

SELF-CONCEPT

Pengertian
Konsep diri adalah bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri yang kadang-kadang akan berbeda dari pandangan orang lain. Konsep diri konsumen terbagi ke dalam 4 dimensi, yaitu bagaimana mereka sesungguhnya melihat dirinya sendiri, bagaimana mereka ingin melihat diri mereka sendiri, bagaimana sesungguhnya orang lain melihat diri mereka, dan bagaimana mereka ingin orang lain melihat diri mereka.
Bagaimana konsumen memandang diri mereka dapat menjadi dorongan yang kuat pada perilaku mereka di pasar sehingga pemasar dapat menggunakan konsep diri ini dalam merancang strategi pemasaran, misalnya dalam menciptakan merek atau produk baru.
Extended self merujuk pada kecenderungan seseorang untuk mendefinisikan dirinya sendiri berdasarkan kepemilikannya (possession). Kepemilikan yang dimaksud di sini tidak harus sesuatu yang besar, seperti rumah atau mobil, tetapi dapat berupa benda-benda kecil, seperti pigura. Penelitian memperlihatkan, konsumen cenderung untuk memilih produk atau merek yang sesuai dengan dirinya atau dengan apa yang ingin dicapainya sebagai manusia. Lebih banyak wanita daripada pria yang menganggap bahwa produk yang mereka gunakan mencerminkan kepribadiannya sendiri.
Pemasar sebaiknya mengembangkan citra produk sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konsep diri yang dianut oleh konsumen. Meskipun konsep diri yang dimiliki seseorang bersifat sangat unik, ada kemungkinan konsep diri antar individu memiliki beberapa kemiripan.

Konsep diri dapat dibagi menjadi 4 bagian :
1.      Konsep diri Aktual     (Contoh : Siapa saya sekarang ?)
2.      Konsep diri Ideal        (Contoh : Ingin seperti apa saya ?)
3.      Konsep diri Pribadi     (Contoh : Saya Bagaimana ya orangnya ?)
4.      Konsep diri Sosial       (Contoh : Bagaimana pendapat orang lain tentang saya ?)

Dimension of Self-Concept
Actual Self-Concept
Ideal Self-Concept
Private Self
Bagaimana sesungguhnya mereka melihat dirinya sendiri
Bagaimana mereka ingin melihat diri mereka sendiri
Social Self
Bagaimana sesunggunya orang lain melihat diri mereka
Bagaimana mereka ingin orang lain melihat diri mereka









Interdependent/Independent Self-Concepts
Dalam pembahasan lebih lanjut, konsep diri dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu konsep diri yang bersifat independent dan interdependent. Hal ini biasa juga disebut dengan separateness dan connectedness. Konsep diri independent didasarkan pada budaya barat yang menganggap bahwa tiap individu benar-benar terpisah. Konsep diri independent menekankan pada hal-hal, seperti tujuan pribadi, karakteristik, pencapaian dan keinginan. Mereka yang memiliki konsep diri kategori ini akan cenderung individualis, egocentric, dan mengandalkan pada diri sendiri.
Di sisi yang lain, terdapat konsep diri yang bersifat interdependent. Kategori ini didasarkan pada budaya Asia yang mempercayai adanya keterkaitan antartiap manusia. Konsep diri ini menekankan pada hal-hal seperti keluarga, budaya, hubungan sosial, dan sebagainya. Mereka yang memiliki konsep diri ini cenderung taat terhadap peraturan, sociocentric, memiliki keterkaitan tinggi dengan lingkungannya, dan berorientasi pada hubungan .
Pengkategorian konsep diri ini tidak selalu bersifat mutlak. Masing-masing berada di ujung ekstrem suatu dimensi, dan masih memungkinkan seorang individu memiliki konsep diri yang berada di posisi antara keduanya. Perbedaan konsep diri telah terbukti mempengaruhi perilaku konsumen, seperti pesan-pesan yang dapat dicerna oleh konsumen, konsumsi produk-produk mewah, dan jenis maupun merek produk yang terpilih dan dibeli oleh konsumen. Para pemasar sering menggunakan pemahaman akan peran konsep diri dalam menerapkan strategi pemasaran. Contohnya, dalam sebuah  iklan yang menampilkan kesan kebersamaan atau kekeluargaan akan lebih efektif bagi konsumen yang memiliki konsep diri interdependent.
Konsep diri sangat penting di semua kebudayaan. Bagaimanapun, aspek tersebut sangat bernilai dan penting dalam mempengaruhi niat konsumsi dan kebiasaan lain dalam kebudayaan yang berbeda-beda. Independent Self-Concept adalah mengenai tujuan pribadi, karakteristik, keinginan dan pencapaian. Sedangkan Interdependent Self-Concept adalah mengenai keluarga, budaya, hubungan sosial serta profesi.

Interdependent Self-Concepts:
  • o   hal yang paling penting dan mendasar adalah rasa keterikatan dengan orang lain
  • o   Penting bagi mereka untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain
  • o   individu ini memiliki rasa kekeluargaan yang sangat kuat
  • o   Sebegitu pentingnya arti orang lain bagi mereka sehingga bisa mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan-keputusan penting.


Independent Self-Concepts
  • o   Menjadi individu yang mandiri, bebas dari orang lain dan bebas mengekspresikan diri mereka
  • o   penting menjadi individu yang independen dari pengaruh orang lain
  • o   apapun yang mereka lakukan memang berdasarkan kemauan mereka sendiri, pemikiran mereka sendiri, dan apa yang mereka rasakan sendiri, bukan dari keinginan orang lain.
  • o   Setiap individu nantinya dapat memaksimalkan potensi diri dan dapat melakukan apa saja untuk mengejar aktualisasi diri sesuai dengan atribusi internal yang dimilikinya. 


Possessions and the Extended Self
Dalam pembahasan mengenai konsep diri, dikenal sebuah teori yang dikemukakan oleh Belk yang disebut dengan extended self. Istilah tersebut merujuk pada kecenderungan seseorang untuk mendefinisikan dirinya sendiri berdasarkan kepemilikannya (possession). Kepemilikan yang dimaksud di sini tidak harus sesuatu yang besar, seperti rumah atau mobil. Namun, bisa berupa benda-benda kecil, seperti pigura, hewan peliharaan ataupun panci untuk memasak. Suatu produk dapat menjadi bagian dari extended self karena digunakan selama suatu periode waktu tertentu dan meninggalkan kenangan maupun nilai tertentu pada diri pengguna.
Sebagai contoh, sebuah kalung emas yang dibeli 20 tahun yang lalu dan telah digunakan selama periode waktu tersebut sehingga telah melekat dan memberi arti khusus bagi si pemakai.
Faktor lain yang dapat menyebabkan suatu produk menjadi bagian dari extended self adalah adanya peak experience dengan produk tersebut, yaitu sebuah pengalaman yang ditandai dengan keberadaan perasaan yang lebih dari biasanya, baik itu perasaan senang, ketegangan, pencapaian dan sebagainya. Produk tersebut, misalnya produk-produk yang diperoleh atau digunakan saat melalui perubahan besar dalam hidup, seperti pernikahan, kematian, perceraian, dan sebagainya. Sebuah skala yang mengukur sejauh mana suatu produk terlibat dalam extended self telah diciptakan dalam bentuk skala Likert.
Beberapa produk memiliki arti substansial bagi beberapa individu tertentu. Dalam hal ini artinya seseorang pasti memiliki suatu barang yang sangat dia favoritkan. Barang tersebut mencerminkan konsep diri mereka dan selera mereka.

Kepemilikan terhadap suatu produk bisa saja mempengaruhi sikap seseorang terhadap produk tersebut tanpa adanya efek extended self. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya mere ownership effect atau juga sering disebut dengan endowment effect, artinya kecenderungan pemilik untuk memberikan penilaian terhadap produk yang lebih baik daripada mereka yang bukan pemilik. Ada kecenderungan seseorang akan lebih menyukai produk tersebut setelah memilikinya selama sekian waktu.
Konsep extended self dan mere ownership effect memiliki banyak implikasi bagi strategi pemasaran. Salah satunya adalah komunikasi yang menyebabkan konsumen memvisualisasikan kepemilikan atas suatu produk yang menyebabkan penilaian terhadap produk yang lebih baik. Selain itu, uji coba terhadap produk dan pemberian sampel produk pada konsumenj juga dapat memberikan efek serupa.

Measuring Self-Concept
Manusia sering kali berusaha untuk mempertahankan actual self-concept dan ingin mencapai ideal self-concept salah satunya melalui pembelian dan penggunaan barang, jasa dan media. Produk dan merek memiliki nilai simbolik tersendiri di mata konsumen. Konsumen mengevaluasinya berdasarkan konsistensi dengan pandangan terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan penelitian, konsumen cenderung untuk memilih produk atau merek yang sesuai dengan dirinya atau dengan apa yang ingin dicapainya sebagai manusia. Hal ini terutama berlaku bagi kaum wanita. Lebih banyak wanita daripada pria yang menganggap bahwa produk yang mereka gunakan mencerminkan kepribadiannya sendiri.
Menggunakan konsep diri dalam marketing membutuhkan sesuatu yang dapat diukur. Hal yang sering digunakan sebagai tolak ukur adalah menggunakan Semantic Differential. Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential) dikembangkan oleh C.E Osgood, Suci dan Tannenbaum dengan maksud untuk mengukur pengertian suatu obyek atau konsep oleh seseorang. Responden diminta untuk menilai suatu obyek atau konsep, (misalnya: sekolah, guru, pelajaran dan sebagainya).

Using Self-Concept to Position Products
Masyarakat berusaha untuk mendapatkan konsep diri yang ideal bagi diri mereka masing-masing. Contohnya seseorang meminum Diet Cola karena dia ingin terlihat sedang melakukan diet.
  • o   Seorang individu memiliki konsep diri
  • o   Konsep diri merupakan nilai dari seorang individu
  • o   Karena konsep diri berharga, maka setiap individu akan berjuang untuk mempertahankan konsep dirinya
  • o   Produk-produk tertentu dapat menjadi simbol sosial bagi yang memiliki produk tersebut
  • o   Pemakaian produk sebagai simbol memberikan arti kepada diri sendiri dan orang lain, yang berakibat kepada private dan social self-concept masing-masing individu
  • o   Hasilnya, seorang individu menggunakan produk, jasa, dan media untuk mempertahankan atau memperkuat konsep diri yang diinginkannya

Marketing Ethics and the Self-Concept
Konsep diri memiliki banyak dimensi. Pemasar telah dikritik karena terlalu fokus pada bentuk dan kemasan produk. Padahal tidak semua orang suka dengan desain kemasannya, dan kemasan tersebut tidak cocok dengan gaya orang di lingkungan tersebut. Para kritikus berpendapat bahwa kekhawatiran ini mengarah individu untuk mengembangkan konsep diri yang sangat bergantung pada penampilan fisik mereka daripada atribut lain yang lebih penting. Pertanyaan etika disini sangat kompleks. Tidak ada satupun iklan atau perusahaan yang pernah memperdulikan etika pemasaran sebelumnya yang akhirnya berdampak pada kurang efektifnya iklan dan biaya iklan yang dikeluarkan.




LIFESTYLE
Gaya hidup merupakan pola hidup yang menentukan bagaimana seseorang memilih untuk menggunakan waktu, uang dan energi dan merefleksikan nilai-nilai, rasa, dan kesukaan. Gaya hidup adalah bagaimana seseorang menjalankan apa yang menjadi konsep dirinya yang ditentukan oleh karakteristik individu yang terbangun dan terbentuk sejak lahir dan seiring dengan berlangsungnya interaksi sosial selama mereka menjalani siklus kehidupan.
Konsep gaya hidup konsumen sedikit berbeda dari kepribadian. Gaya hidup terkait dengan bagaimana seseorang hidup, bagaimana menggunakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu mereka. Kepribadian menggambarkan konsumen lebih kepada perspektif internal, yang memperlihatkan karakteristik pola berpikir, perasaan dan persepsi mereka terhadap sesuatu.

Gaya hidup yang diinginkan oleh seseorang mempengaruhi perilaku pembelian yang ada dalam dirinya, dan selanjutnya akan mempengaruhi atau bahkan mengubah gaya hidup individu tersebut.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang diantaranya demografi, kepribadian, kelas sosial, daur hidup dalam rumah tangga. Kasali (1998) menyampaikan beberapa perubahan demografi Indonesia di masa depan, yaitu penduduk akan lebih terkonsentrasi di perkotaan, usia akan semakin tua, melemahnya pertumbuhan penduduk, berkurangnya orang muda, jumlah anggota keluarga berkurang, pria akan lebih banyak, semakin banyak wanita yang bekerja, penghasilan keluarga meningkat, orang kaya bertambah banyak, dan pulau Jawa tetap terpadat.

Hubungan antara gaya hidup dan konsep diri ditunjukkan dalam sebuah studi baru-baru ini yang membandingkan berbagai gaya hidup yang berhubungan dengan kegiatan, minat dan perilaku mereka yang saling independen versus interindependen konsep diri. Independen lebih cenderung untuk mencari petualangan dan kegembiraan melalui perjalanan, olahraga dan hiburan, untuk menjadi pemimpin opini, dan lebih suka majalah di TV. Interindependen lebih mungkin untuk terlibat dalam rumah dan kegiatan domestik-terkait dan hiburan,  termasuk memasak di rumah. Interindependen juga lebih mungkin untuk terlibat dalam kegiatan sosial yang bergulir di sekitar keluarga dan masyarakat.
Individu dan rumah tangga keduanya memiliki gaya hidup. Meskipun gaya hidup rumah tangga sebagian ditentukan oleh gaya hidup individu anggota rumah tangga, sebaliknya juga benar.
Individu yang menginginkan  gaya hidup mempengaruhi kebutuhan dan keinginan mereka dan  pembelian mereka sera perilaku penggunaan. Gaya hidup yang diinginkan banyak menentukan konsumsi orang terhadap suatu keputusan, yang pada gilirannya memperkuat atau mengubah gaya hidup orang itu.
Pemasar dapat menggunakan gaya hidup untuk segmen dan target pasar tertentu. Sebagai Gambaran perusahaan seperti embun gunung dan gitar fender menargetkan promosi mereka dan merek terhadap gaya hidup penggemar olahraga ekstrim. Bir merek seperti Heineken dan Amstel juga akan melihat kelompok ini sebagai segment yang sangat menarik karena mereka 100 persen lebih mungkin dibandingkan rata-rata konsumen untuk minum bir impor.

Lifestyle and the consumption process

Measurement of lifestyle



SISTEM VALS
VALS (Value, Attitude, and Lifestyle/ Nilai, Sikap dan Gaya Hidup”) merupakan sebuah metode segmentasi pasar yang bersifat psychographic. Diciptakan pada tahun 1970 untuk menerangkan dan memprediksi nilai dan gaya hidup serta konsumsi masyarakat Amerika Serikat. Untuk selanjutnya, VALS juga dapat dengan mudah diterapkan untuk memprediksi kelakuan serta gaya membeli dari pelaku bisnis dan konsumen. Menurut VALS Framework, kelompok-kelompok konsumen dibagi di segi empat dan mempunyai dua dimensi.
Segmentasi pengukuran berdasarkan gaya hidup dan nilai biasa digunakan oleh system VALS yang merupakan akronim dari “values and lifestyle”. Sistem VALS ini adalah pendekatan yang umum digunakan untuk penelitian tentang gaya hidup dalm menentukan segmentasi pasar. VALS dikembangkan oleh Arnold Mitchell dari SRI (Stanford Research Institute) Consulting Business Intelligence (sekarang SBI (Strategic Business Insights)). Mereka telah mengembangkan dua bentuk program VALS, yaitu VALS 1 (atau VALS) dan VALS 2.
VALS 1 dikembangkan berdasarkan teori motivasi dan teori perkembangan psikologis, terutama berdasarkan teori hierarchy-of-needs Maslow. VALS memandang konsumen sebagai sesuatu yang bergerak melalui tahapan – tahapan yang disebut double hierarchy. Double hierarchy ini membagi empat kategori besar, yaitu:
  • 1.      kelompok need-driven
  • 2.      kelompok outer-directed
  • 3.      kelompok inner-directed
  • 4.      kelompok integrated








VALS 2 terbagi menjadi dua dimensi. Dimensi pertama, konsumen dibagi berdasarkan tiga motivasi utama (primary motivation), yaitu:

1.      Motivasi ideal (ideals motivation). Konsumen memilih berdasarkan pengetahuan, keyakinan dan prinsip yang anutnya, bukan atas perasaan atau keinginan untuk diakui secara sosial. Konsumen yang termasuk ke dalam motivasi ini merupakan konsumen yang membeli secara fungsi dan keandalan. Kelompok yang masuk ke dalam motivasi ideal ini adalah kelompok Thinkers dan kelompok Believers.
2.      Motivasi penghargaan (achievement motivation). Konsumen dalam motivasi ini selalu berjuang untuk posisi sosial yang jelas dan sangat dipengaruhi oleh tindakan, persetujuan dan opini dari yang lain. Konsumen pada kelompok ini membeli simbol status sosial. Mereka mencari produk dan jasa yang menunjukkan keberhasilan kepada kelompoknya. Kelompok Achievers dan kelompok Strivers adalah termasuk dalam motivasi penghargaan.
3.      Motivasi ekspresi diri (self-expression motivation). Kelompok ini merupakan kelompok konsumen yang berorientasi pada tindakan (action-oriented). Konsumen ini berjuang untuk mengekspresikan individualitas mereka melalui pilihan – pilihan mereka. Konsumen - konsumen ini membeli pengalaman. Mereka juga meinginkan aktivitas sosial atau fisik, menyukai keberagaman dan pengambil resiko. Kategori motivasi ekspresi diri terdiri dari kelompok Experiencers dan kelompok Makers.
Ketiga motivasi diri ini masing – masing merepresentasikan sikap, gaya hidup dan gaya pengambilan keputusan yang berbeda – beda.
Dimensi kedua berdasarkan sumber daya (resources) dan inovasi (innovation), yang menunjukkan kemampuan konsumen untuk meraih orientasi diri mereka yang dominan. Sumber daya dan inovasi (dari tertinggi hingga terendah) mengacu pada lingkup psikologis, fisik, demografik serta kapasitas dan kekayaan materi yang dapat dimanfaatkan, termasuk pendidikan, pendapatan, kepercayaan diri, kesehatan, semangat membeli, tingkat energi, serta kecenderungan atau hasrat konsumen mencoba produk baru.


Diagram VALS

Pada diagram menunjukkan rangkaian pembagian sumber daya dan inovasi; sumber daya tinggi – inovasi tinggi (high resources - high innovation) di posisi paling atas, dan sumber daya rendah – inovasi rendah (low resources – low innovation) di posisi paling bawah diagram. Kelompok Innovators memiliki paling banyak sumber daya dan inovasi, sedangkan kelompok Survivors memiliki sumber daya dan inovasi yang paling rendah.

Kategori kelompok VALS yang terbagi ke dalam 8 bagian kelompok :
  • 1.      Innovators. Setiap orang yang termasuk dalam kelompok ini merupakan orang yang sukses, canggih, aktif, memimpin orang lain dengan kepercayaan diri tinggi dan sumber daya melimpah. Seorang innovator termotivasi dari cita-cita, penghargaan dan ekspresi diri. Citra menjadi penting bagi seorang innovator, sebagai bentuk ekspresi dari cita rasa, kebebasan dan karakter. Kepemilikan dan kesenangannya menunjukkan cita rasa yang tinggi. Mereka berada diantara yang mapan dan menjadi pemimpin dalam bisnis dan pemerintahan untuk terus berkembang dan mencari tantangan baru. Mereka juga pemimpin perubahan dan yang cepat memahami adanya produk, ide dan teknologi baru.
  • 2.      Thinkers. Konsumen motivasi ideal, memiliki sumber daya tinggi. Thinkers bersifat dewasa, merasa puas, merasa nyaman, orang yang reflektif yang menghargai perintah, pengetahuan dan tanggung jawab. Mereka cenderung memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan secara aktif mencari informasi dalam proses pembuat keputusan. Mereka menyukai produk yang tahan lama, memiliki fungsi dan nilai. Mereka jenis konsumen yang praktis dan berdasarkan rasional. Selalu mendapatkan dan mengikuti informasi dengan baik untuk memperluas pengetahuannya, serta cenderung menghabiskan waktu luang di rumah, dan selalu terbuka akan ide baru dan perubahan sosial.
  • 3.      Believers. Konsumen motivasi ideal, namun memiliki sumber daya rendah. Konsumen ini adalah orang yang konservatif, konvensional dengan memegang keyakinan dan kepercayaan atas dasar kode – kode tradisional dan sudah didirikan, seperti keluarga, gereja, komunitas dan Negara. Maka itu, mereka lamban untuk berubah dan menolak teknologi. Sebagai konsumen, mereka konservatif, mudah ditebak, sangat loyal terhadap suatu produk. Mereka memilih produk - produk dan merek yang dikenal atau yang sudah lazim mereka ketahui.
  • 4.      Achievers. Konsumen motivasi atas penghargaan, sumber daya tinggi. Seorang achiever memiliki gaya hidup berorientasi pada tujuan yang mengacu pada keluarga dan karir. Termasuk orang yang sukses dalam karir dan berorientasi pada pekerjaan yang sering kali merasa dirinyalah yang mengkontrol hidupnya. Mereka menghargai kesepakatan, prediktabilitas dan stabilitas atas resiko, keintiman dan penemuan diri. Mereka menjalani kehidupan yang konvensional, cenderung menjadi kolot secara politis, serta menghargai kekuasaan dan status quo. Citra menjadi penting bagi mereka; mereka menyukai kemapanan, produk maupun jasa prestise dan premium untuk menunjukkan sukses di antara kelompoknya. Produk dan jasa yang berkaitan dengan kenyamanan dan hemat waktu menjadi minat mereka sebagai perwujudan kebutuhan gaya hidup mereka yang sibuk.
  • 5.      Strivers. Konsumen motivasi atas penghargaan, sumber daya rendah. Mereka adalah orang yang trendi dan menyenangkan. Mereka berpenghasilan rendah, pendidikan terbatas dan cenderung memiliki minat yang terbatas. Mereka menyukai produk yang penuh gaya untuk menandingi atau meniru pembelian orang – orang yang memiliki kekayan materi lebih besar. Uang berarti sukses bagi mereka. Strivers memiliki kepercayaan diri yang rendah dibanding achievers.
  • 6.      Experiencers. Konsumen motivasi ekspresi diri, sumber daya tinggi. Termasuk orang yang muda, penting, antusias, impulsive dan pemberontak. Mereka mencari keragaman dan kegembiraan, menikmati hal baru, aneh dan penuh resiko. Berada dalam proses perumusan nilai kehidupan, experiencers cepat menjadi antusias terhadap kemungkinan – kemungkinan baru, tetapi juga cepat merasa bosan. Saat berada di tahap ini, mereka berlaku netral secara politis, tidak mengetahui, dan bersikap bertentangan dengan yang diyakininya. Tenaga yang dikeluarkan cocok untuk aktivitas berlatih, berolahraga, kegiatan luar ruangan dan aktivitas social. Mereka merupakan konsumen yang bersemangat dan menghabiskan pendapatannya untuk baju, makanan cepat saji, musik, film, video dan teknologi.
  • 7.      Makers. Konsumen motivasi ekspresi diri, sumber daya rendah. Merupakan orang yang praktis yang memiliki kemampuan membangun dan menghargai kemandirian diri. Mereka memilih aktivitas konstruktif menggunakan tangan dan menghabiskan waktu luangnya dengan keluarga dan teman dekat mereka. Fokus terhadap hal - hal yang sudah dikenal, seperti keluarga, pekerjaan dan kesenangan fisik, serta memiliki minat rendah terhadap dunia luas. Mereka konservatif secara politis, mencurigai ide baru, menghargai kekuasaan pemerintah, tetapi terkadang sebal terhadap campur tangan pemerintah atas hak individu. Mereka lebih memilih nilai daripada kemewahan, maka mereka membeli produk - produk pokok, dan menghargai produk praktis dan fungsional.
  • 8.      Survivors. Konsumen yang termasuk dalam kelompok ini hidup dalam pendapatan yang terbatas tetapi relatif puas. Kebanyakan usia tua dan sangat memerhatikan kesehatan, keamanan mereka serta untuk berada di keluarga mereka, juga tidak aktif di pasar. Survivors tidak menunjukkan motivasi utamanya dan terkadang merasa tidak berdaya. Mereka cenderung loyal terhadap brand dan membeli barang potongan harga.


GEO-LIFESTYLE ANALYSIS (PRIZM)
Orang dengan budaya yang sama, berarti latar belakang dan perspektif secara alami tertarik terhadap satu sama lain. Mereka memilih untuk hidup di antara rekan-rekan mereka di lingkungan yang menawarkan keuntungan yang terjangkau dan gaya hidup yang kompatibel.
Setelah menetap,  orang akan alami meniru tetangga mereka. Mereka mengadopsi nilai-nilai sosial yang sama, selera dan harapan. Mereka menunjukkan berbagi pola perilaku konsumen terhadap produk, jasa, media dan promosi.

Kelompok Sosial dan Tahap Hidup PRIZM
Ada empat kelompok sosial yang utama:
  • Urban, kota-kota besar dengan kepadatan populasi yang tinggi 10
  • Pinggiran kota, area-area ”pinggir kota” yang cukup padat di sekitar area metropolitan
  • Kota kedua, kota-kota yang populasinya tidak terlalu padat atau kota satelit untuk kota-kota metropolitan
  • Kota kecil & damai, kota kecil dan komunitas pedesaan dengan kepadatan rendah.
Ada tiga kelompok tahap hidup yang utama:
  • Tahun muda, bujangan dan pasangan di bawah 45 tahun tanpa anak
  • Kehidupan keluarga, keluarga berusia menengah (25-54) yang memiliki anak Penggunaan karakteristik gaya hidup dalam strategi pemasaran
  • Tahun dewas, bujangan dan pasangan berusia lebih dari 45 tahun
Penerapan PRIZM dalam Strategi Pemasaran
Menggunakan PRIZM untuk mengidentifikasi pasar dan konsumen utamanya, serta mengidentifikasi kesempatan pertumbuhan di masa mendatang.
Misalnya Kasino , dengan mengidentifikasi segmen yang memiliki kesempatan tinggi, kasino ini mengatur ulang dan memfokuskan kembali usaha-usaha pemasarannya untuk membidik kelompok-kelompok tersebut sambil tetap setia pada konsumen intinya

INTERNATIONAL LIFESTYLES
Jika ada segmen gaya hidup yang berbeda antara kebudayaan, maka para pemasar dapat mengembangkan strategi antar budaya. Tujuan mereka adalah skema segmentasi global yang berdasarkan pada nilai-nilai inti.

Penggunaan karakteristik gaya hidup dalam strategi pemasaran
  • 1.      Pemasar dapat menggunakan gaya hidup konsumen untuk melakukan segmentasi pasar sasaran
  • 2.      Pemahaman gaya hidup konsumen juga membantu dalam memposisikan produk di pasar dengan menggunakan iklan
  • 3.      Jika gaya hidup telah diketahui, maka pemasar dapat menempatkan iklan produknya pada media-media yang cocok
  • 4.      Dengan mengetahui gaya hidup konsumen berarti pemasar bisa mengembangkan produk sesuai dengan gaya hidup mereka

-------------------------------------
-------------------------------------





DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwjXsMDztYLQAhVBqI8KHW7UD2AQFggfMAA&url=http%3A%2F%2Focw.usu.ac.id%2Fcourse%2Fdownload%2F1270000061-perilaku-konsumen%2Fplk_172_slide_konsep_diri_dan_gaya_hidup.pdf&usg=AFQjCNGKraKG-kUaEktZS3Zf7HgpDsVlTQ&sig2=PHxoDhju3qipu2R9qB-HcA&cad=rja

1 komentar: